Senin, 29 Agustus 2011

Buang Hajat dan Etikanya

Buang Hajat dan Etikanya by Alexyusandria Moenir on Wednesday, March 30, 2011 at 7:23am
Melihat sampah yang bertumpuk disuatu tempat, membuat kita jijik karena begitu banyak ulat yang mengerumuninya seperti semut mengerumuni gula, belum lagi baunya yang sangat tidak tertahankan busuknya.
Pernahkah kita masing masing membayangkan apa yang akan terjadi andai manusia tidak diberi kemudahan oleh Allah subhanahu wata'ala dalam membuang segala macam sampah yang berada dalam tubuh masing masing?
Alhamdulillah , dalam kehidupan sehari hari salah satu rutinitas manusia adalah membuang sampah yang berada dalam perutnya secara teratur, atau kita sebut juga dengan istilah buang hajat, baik buang hajat besar maupun buang hajat kecil.
Islam sebagai ajaran yang sempurna telah memberikan ketentuan yang terarah mengenai adab membuang hajat ini. Sehingga pernah kaum musyrikin berkata kepada Salman Al Farisi radhiallahu 'anhu : “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat”. Salman menjawab : “Ya, beliau mengajarkan kami adab buang hajat”. (HR. Muslim no. 262)
Dalam melaksanakan buang hajat ini kita sering melupakan hal hal yang terlihat sepele, namun memiliki dampak yang besar buat kehidupan akhirat kita kelak. Karena kita sering berfikir bahwa, buang hajat hanyalah masalah ringan, yaitu mengeluarkan sesuatu yang tidak mengenakkan diperut.
Padahal dalam sunnah yang ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kita diberi pengajaran bahwa sebelum masuk kedalam WC aturlah langkah kaki kiri kita yang melangkah masuk terlebih dahulu sambil membaca do’a dan melangkah keluarlah dengan kaki kanan, juga dengan membaca do’a.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam masalah ini mengajarkan bahwa ketika seseorang akan masuk ke tempat buang hajat (WC dan semisalnya) hendaknya ia mengucapkan doa : Bismillah Allaahumma inni a’udzubika minal khubusi wal khabaaits à Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pada setan jantan dan setan betina” (HR. Al Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375)
Membaca doa ini merupakan adab yang disepakati istihbab-nya (disunnahkan) dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara buang hajat di tempat yang berupa bangunan ataupun di padang pasir. (Syarah Shahih Muslim, 4/71)
Sementara apabila di padang pasir (tempat yang terbuka), maka doa ini dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat seperti ketika seseorang menyingkap pakaiannya. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan mereka mengatakan kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati. (Fathul Bari, 1/307)
Telah diketahui bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau. (HR. Al Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)
Hadits di atas menunjukkan keumuman, namun khusus pada keadaan-keadaan tertentu dimulai dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk WC, keluar dari masjid dan yang semisalnya. Demikian dinyatakan Ibnu Daqiqil ‘Ied. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Al Imam An-Nawawi berkata : “Merupakan kaidah yang berkesinambungan dalam syariat di mana tangan/kaki kanan didahulukan dalam melakukan perkara yang mulia seperti memakai pakaian, celana, sandal, masuk masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad dan selainnya dari perkara yang semisal di atas. Semua itu disenangi untuk memulai dengan bagian kanan. Adapun lawan dari perkara di atas seperti masuk WC, keluar dari masjid, istinja, melepas pakaian, celana, sandal dan yang semisalnya disenangi untuk memulai dengan tangan/kaki kiri.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160, Al Majmu’, 2/95)
Ketika keluar setelah selesai buang hajat, kita disunnahkan untuk membaca do’a : Ghufraanaka à “Aku memohon pengampunan-Mu” (HR. At-Tirmidzi no. 8, Abu Dawud no. 28, Ibnu Majah no. 296 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 52)
Doa di atas diucapkan ketika seseorang keluar dari tempat buang hajat. Kecocokan doa ini dengan keadaan tersebut adalah setelah seseorang diringankan dan dilindungi dari gangguan fisik, dia akan teringat gangguan berupa dosa maka dia meminta kepada Allah agar meringankan dosanya dan mengampuninya sebagaimana Allah telah menganugerahkan perlindungan kepadanya dari gangguan fisik. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/84).
Di samping itu, kekuatan manusia itu amatlah terbatas untuk mensyukuri nikmat yang dicurahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa makanan, minuman dan pengaturan zat makanan di dalam tubuh sesuai dengan kepentingannya sampai akhirnya dikeluarkan sisanya dari tubuh. Oleh karena itu, sepantasnya seorang hamba memohon ampun kepada Allah sebagai pengakuan akan kekurangan tersebut dari apa yang sepatutnya. (Tuhfatul Ahwadzi, 1/42)
Kita yang hidup dizaman sekarang dengan berbagai kemajuannya, dimana tempat membuang hajatpun telah dibuat manusia dengan lebih bersih dan modern, sehingga dalam buang hajat, kebersihan kita lebih terjaga, karena kecilnya kemungkinan pakaian dan diri kita terkena percikan najis kita sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, maka beliau mengabarkan : “Dua penghuni kuburan ini sedang diadzab. Tidaklah mereka diadzab karena perkara yang besar. Kemudian Rasulullah mengatakan: Bahkan ya. Adapun salah satunya, ia diadzab karena tidak berhati-hati/ tidak menjaga dirinya dari kencing…”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292, dengan lafadz Al-Bukhari)
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah mengatakan : “Kedua penghuni kuburan itu tidaklah diadzab karena perkara yang sulit untuk menghilangkannya atau untuk mencegahnya serta berhati-hati darinya. Yakni perkara itu sebenarnya mudah, gampang bagi orang yang menjaga diri darinya.” Beliau juga berkata : “Dua perkara ini termasuk dosa besar.” (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/62)
Tidak berhati-hati dari kencing sehingga menajisi tubuh merupakan penyebab adzab kubur sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas, padahal mungkin perkara ini dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan dengan merenggangkan/menjauhkan kedua kaki ketika duduk untuk buang hajat guna menghindari percikan air kencing. Al-Hasan berkata : “Telah menceritakan kepadaku orang yang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau kencing dalam keadaan jongkok dengan merenggangkan kedua kaki beliau selebar-lebarnya sehingga kami menduga pangkal paha beliau akan terlepas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1/121 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami`ush Shahih, 1/500)
Islam itu mengajarkan kebersihan, karena itulah Rasulullah juga melarang kita  buang hajat sembarangan, seperti dilubang, ditempat air yang tidak mengalir, serta dijalan tempat manusia lewat maupun tempat manusia bernaung. Karena hal ini akan menganggu lingkungan dan makhluk Allah juga.
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 239 dan Muslim no. 282)
Yang rajih dari larangan di sini adalah menunjukkan keharamannya. Sama saja air yang tidak mengalir itu banyak ataupun sedikit, kencing ataupun buang air besar karena buang air besar ini lebih jelek daripada kencing. Dan juga perkara yang terlarang dalam permasalahan ini apabila seseorang kencing di dalam bejana kemudian dia buang air kencing tersebut ke air yang tidak mengalir tersebut. Sementara itu, tidaklah terlarang membuang hajat pada air yang mengalir, namun lebih baik dijauhi, terlebih lagi bila air yang mengalir itu sedikit. (Syarah Shahih Muslim, 3/187-188, Subulus Salam, 1/34-35)
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing di lubang (yang biasa digali oleh binatang sebagai tempat persembunyiannya)”. (HR. Ahmad no. 19847 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/499)
Qatadah rahimahullah, salah seorang rawi hadits ini, ditanya oleh murid-muridnya tentang alasan pelarangan di atas. Qatadah pun menjawab : “Lubang-lubang itu adalah tempat tinggalnya jin” (Sehingga dikhawatirkan orang yang kencing tersebut akan ditimpa oleh kemudharatan, ataupun perbuatan tersebut dilarang karena mengganggu/ menyakiti hewan-hewan yang ada dalam lubang tersebut. [Nailul Authar, 1/129, Sunan An-Nasa’i Hasyiyah As-Sindi, 1/34)] (Al Jami`ush Shahih, 1/499)
“Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang dilaknat (oleh manusia)”. Para shahabat bertanya : “Apa yang dimaksud dengan dua orang yang dilaknat?”. Beliau menjawab : “Orang yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia2 atau di tempat yang biasa mereka bernaung”. (Shahih, HR. Muslim no. 269)
Al-Khaththabi rahimahullah dan selainnya dari kalangan ulama berkata : “Yang dimaukan dengan tempat naungan adalah tempat yang dijadikan oleh manusia untuk bernaung, mereka singgah dan duduk di situ”. (Syarah Shahih Muslim, 3/163)
Buang hajat di tempat demikian dilarang karena hal itu mengganggu kaum muslimin dengan menajisi dan mengotori tempat lalu lalang mereka. (Syarah Shahih Muslim, 3/163) Sementara memberikan gangguan kepada kaum muslimin itu diharamkan. (Ad-Darari, 24, Asy-Syarhul Mumti‘, 1/102)
Bahkan dalam beristinja’ pun kita diberitahukan agar tidak mempergunakan tangan kanan, serta tidak diperbolehkan bersuci dengan mempergunakan tulang serta kotoran hewan yang telah kering dan membatu (Rautsah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing dan ketika istinja’ (cebok), sebagaimana sabdanya : “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika sedang kencing dan jangan pula cebok dengannya setelah buang hajat”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 154 dan Muslim no. 267)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Larangan istinja’ dengan tangan kanan termasuk salah satu adab dalam istinja’. Dan ulama sepakat dilarangnya perkara ini. Jumhur ulama berpendapat larangan di sini menunjukkan makruhnya bukan haram”. Kemudian beliau berkata : “Memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh”. (Syarah Shahih Muslim, 3/156, 159)
Larangan Bersuci dengan Tulang dan Kotoran Hewan yang telah Mengering/Membatu (Rautsah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu untuk mencari batu guna keperluan bersuci beliau dan beliau bersabda: “Jangan engkau datangkan untukku tulang dan jangan pula rautsah.” (Shahih, HR. Al- Bukhari no. 155)
Di waktu yang lain Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu 'anhu pernah diminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar mencari tiga batu untuk bersuci namun ia hanya mendapatkan dua batu hingga ia mengambil rautsah lalu diserahkannya kepada Nabi. Maka beliau mengambil dua batu tersebut dan membuang rautsah, seraya berkata: “Ini adalah kotoran”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 156)
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah : “Tidak boleh bersuci dengan menggunakan rauts ataupun tulang. Dan bersuci dengan keduanya tidaklah mencukupi, demikian pendapat mayoritas ahli ilmu dan hal ini merupakan pendapatnya Ats-Tsauri, Asy- Syafi’i dan Ishaq.” (Al-Mughni, 1/104)
Begitu indahnya Islam dengan berbagai ketentuan yang disunnahkan buat kita jalani demi kebaikan kita dunia akhirat. Bahkan kesempurnaan Islam itu sendiri dinyatakan Allah dalam firmanNya di Al Qur’an :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Maa’idaah 5 : 3)
[394]. Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[395]. Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[396]. Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.
[397]. Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
[398]. Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
Wallahu a’lam bishshawab ... ^_^
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar