Jumat, 26 Agustus 2011

Haruskah Menyelamatkan Diri dari Bencana

Haruskah Menyelamatkan Diri dari Bencana by Alexyusandria Moenir on RM Kamis 18 November 2010 12:12

Begitu banyak musibah yang telah menimpa manusia sejak zaman Nabi Adam alaihi sallam hingga zaman kita sekarang ini. Dan dibalik hikmah musibah tersebut, sebenarnya kita selalu diberi peringatan dan tanda tanda oleh Allah subhanahu wata’ala sebelum Dia memberikan suatu ujian kepada hamba hamba Nya. Dan diantara tanda tanda tersebut, kita disuruh untuk menghindari musibah tersebut dan berusaha keras untuk menyelamatkan diri agar dapat selamat dari musibah yang tengah menimpa.
Tidak ada satu musibahpun yang menimpa yang menyuruh manusia buat menanti musibah tersebut dengan pasrah saja tanpa suatu usaha. Karena sesungguhnya selain sebagai ujian keimanan, musibah juga merupakan suatu ujian bagi manusia buat mempergunakan akal dan fikirannya agar terhindar dari akibat buruk suatu bencana yang datang menimpa.
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS AL Baqarah 2 : 195)
Syaikh Nashir as-Sa’dy memberikan catatan dalam penafsirannya terhadap ayat “Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan” (al-Ilqaa’ bi al-Yad) merujuk kepada dua hal :
1. Meninggalkan apa yang seharusnya diperintahkan kepada seorang hamba, dimana jika meninggalkannya itu memiliki akibat binasanya badan atau jiwa dan mengerjakan apa yang menjadi sebab kebinasaan jiwa atau roh, seperti : meninggalkan jihad fi sabilillah, bepergian yang mengandung resiko ke tempat yang banyak binatang buas atau ularnya, memanjat pohon atau bangunan yang berbahaya dan sejenisnya. Hal lain yang termasuk ‘menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan’ adalah melakukan maksiat terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan berputus asa untuk bertaubat. Wajib bagi setiap muslim untuk menjauh dan menjaga dirinya dari sebab-sebab kebinasaan, kecuali pada cara-cara yang syar’i seperti jihad (fi sabilillah) dan sebagainya.
2. Meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah di mana meninggalkannya merupakan bentuk kebinasaan bagi jiwa dan agama.
Bahkan pada zaman nabi nabi terdahulupun ketika Allah memberikan suatu musibah terhadap suatu kaum yang ingkar, Nabi yang memimpin ummat tersebut, diberi perintah oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menyelamtakan diri ketempat yang lebih baik dan lebih aman, jauh dari tempat dimana suatu musibah ditimpakan Allah, bahkan termasuk menyelamatkan harta benda yang  bisa dibawa secukupnya.
Tentu kita masih ingat saat Nabi Nuh diselamatkan Allah dengan cara menyuruh Nabi Nuh untuk membuat bahtera.
Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya). (QS Al A’raaf 7 : 64)
Juga pada kejadian dimana Nabi Luth beserta umatnya yang saleh diselamatkan Allah dari kemungkaran kaumnya yang menyukai hubungan sesama jenis.
Para utusan (malaikat) berkata : "Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal[732], kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?." (QS Huud 11 : 81)
[732]. Kata tertinggal di sini terjemahan dari kalimah yaltafit. Ada pula mufassir menterjemahkannya dengan menoleh ke belakang.
Contoh lainnya dapat juga kita lihat pada kisah Nabi Shaleh yang diutus Allah untuk kaum Tsamud yang ingkar akan ajaran nabi Shaleh akibat kesombongan mereka yang tidak mau patuh dan tunduk akan perintah Allah Subhanahu wata’ala. Dan Allah membinasakan kaum Tsamud setelah terlebih dahulu menyelamatkan Nabi Shaleh dan kaumnya yang beriman dengan menyuruhnya untuk meninggalkan kaumnya yang ingkar dengan menjauh dari azab yang ditimpakan Allah akibat kemungkaran mereka.
Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-Lah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS Huud 11 : 66)
Begitu banyak kisah umat terdahulu yang ditimpakan musibah oleh Allah sebagai azab atas kemungkaran mereka terhadap ajaran Nabi yang merupakan utusan Allah subhanahu wata’ala terhadap masing masing kaum. Dan dalam setiap azab tersebut Allah selalu menyuruh para Nabi tersebut untuk menyelamatkan diri beserta kaumnya masing masing yang beriman bahkan termasuk harta benda yang bisa diselamatkan, ikut dibawa serta.
Sesungguhnya musibah yang ditimpakan kepada manusia bukan disebabkan karena kebencian Allah terhadap hamba hambaNya, namun merupakan pengajaran buat hamba hamba Nya yang masih saja bandel dan tetap memperturutkan hawa nafsunya dalam menjalani kehidupan sehari hari. Sehingga kadang kadang manusia lupa membedakan antara yang haq dan yang bathil. Semuanya sudah bercampur baur dalam pelaksanaan kehidupan sehari hari.
Jika dizaman Nabi yang telah lalu, Allah memberikan musibah sebagai azab disebabkan karena umat yang keras kepala meskipun selalu diberikan petunjuk oleh Allah subhanahu wata’ala melalui Nabi yang memimpin umat masing masing. Dizaman sekarang, setelah agama disempurnakan Allah melalui ajaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka pengajaran yang diberikan pun telah sempurna buat dijadikan petunjuk yang wajib untuk diamalkan manusia dalam kehidupan sehari hari.
Dan ketika musibah ditimpakan kepada manusia akibat kelalaian manusia sendiri, maka Allah memberikan musibah tersebut tanpa memilah milah antara yang ingkar dan beriman. Namun tentu saja dengan maksud yang berbeda, dimana musibah bagi yang ingkar merupakan azab buat kesalahan mereka dan bagi yang beriman, musibah merupakan ujian keimanan.
Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS Muhammad 47 : 10)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS Al Ankabuut 29 : 2 – 3)
Dalam menghadapi musibah tersebut, manusia memiliki  kewajiban buat menyelamatkan diri dan menghindarkan diri sejauh jauhnya dari musibah yang menimpa, selagi bisa. Karena jika kita menanti musibah tersebut tanpa usaha buat menyelamatkan diri, hal itu sama saja dengan bunuh diri, padahal kita tahu bahwa bunuh diri merupakan suatu hal yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS An Nisaa’ 4 : 29 – 30)
[287]. Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah berikan musibah kepadanya.” (HR Al-Bukhari no. 5645)
Dan jika dalam menyelamatkan diri itu kita masih juga tidak terselamatkan, maka itu merupakan ketentuan Allah Subhanahu wata’ala, dimana ketetapan Allah tersebut tidak seorangpun dapat mengelakkannya lagi.
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali ‘Imraan 3 : 145)
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu[537]; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS Al ‘Araaf 7 : 34)
[537]. Maksudnya: tiap-tiap bangsa mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhan.
Menanti musibah setelah manusia diberikan Allah akal buat berfikir, merupakan tindakan bodoh yang menzalimi diri sendiri. Selain itu bisa juga disebabkan karena kerasnya hati yang mendekatkan diri pada kesombongan akibat mendengarkan bisikan bisikan setan yang menyuruh seseorang buat bertahan disuatu tempat sedangkan hal itu dapat menyebabkan bahaya buat dirinya sendiri.
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS An Naml 27 : 14)
Dalam kehidupan kita saat ini, dimana beberapa bencana siap datang menghantam manusia dalam berbagai bentuk musibah. Diantaranya, letusan gunung berapi dengan segala akibatnya dan  gempa bumi yang dapat menimbulkan tsunami. Walaupun kepastian datangnya suatu musibah merupakan kuasa Allah subhanahu wata’ala namun manusia dengan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, dengan ijin Allah subhanahu wata’ala dapat memperkirakan kekuatan dan akibat yang ditimbulkan oleh suatu musibah yang akan datang menimpa.
Dan pemerintah yang berkuasa disuatu tempat memiliki kewajiban buat memberi peringatan kepada warganya agar menjauh dan menyelamatkan diri agar terhindar dari musibah tersebut. Sementara warga wajib mengikuti anjuran pemerintah yang berkuasa selagi hal tersebut baik buat kemaslahatan ummat, karena kepatuhan pada pemimpin yang membawa kebaikan dijalan Allah juga merupakan bagian dari keimanan.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa’ 4 : 59)
Dan kita tahu bahwa iblis dengan sifat kesombongan yang ada pada dirinya yang menyebabkannya terusir dari surga, berusaha mewariskan kesombongan yang sama pada hati seorang hamba agar menjadi pengikutnya kelak dineraka.
Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina." Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya[529] sampai waktu mereka dibangkitkan." (QS Al ‘Araaf 7 : 13 – 14)
[529]. Maksudnya: janganlah saya dan anak cucu saya dimatikan sampai hari kiamat sehingga saya berkesempatan menggoda Adam dan anak cucunya.


Mudah mudahan kita mampu memilah antara  pasrah dan tawakal, agar tidak ada penyesalan dikemudian hari, dan semoga Allah selalu memberikan petunjuk dan hidayahNya buat kita semua ... Aamiin ya Rabb


Wallahu a'lam bishshawab ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar